Jumat, 07 September 2012

Harun Nasution - Teologi Rasional

PENDAHULUAN
Harun Nasution adalah sosok ilmuan Muslim yang amat berwibawa dan disegani oleh intelektual Muslim, baik dalam maupun luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan. Dilihat dari segi pribadinya, beliau adalah seorang yang taat beribadah, berpola hidup sederhana, jujur, amanah, dan rendah hati. Pribadi yang demikian itu merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki seorang pendidik.  Mendengar Nama Harun Nasution tidak lepas dari kata “Rasional”. Ia memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan liberal. Pemikiran teologi harun nasution merupakan gambaran dari pemikiran gurunya yaitu Muhammad Abduh yang merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh terhadap teologi.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, yang berisikan tentang corak pemikiran rasional agamis pada abad ke-19. Selain itu buku ini juga membahas tentang sejarah Islam, yang mulanya berkembang pemikiran rasional yang berkembang pada zaman klasik Islam (650-1250 M), kemudian berkembang pemikiran tradisional pada zaman pertengahan Islam sekitar (1250-1800 M). 
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana ting­ginya kedudukan akal seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits.
 
Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q. S. Al-Mulk; 10)
Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Aleksandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syria), Bactra (Persia). Disana memang telah berkembang pemikiran rasional Yunani.
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik. Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama yaitu Qur’an dan Hadits. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.
Pembagian pemikiran Islam ke dalam corak rasional dan tradisional berakibat menimbulkan kesan yang kurang baik, khususnya bagi umat Islam itu sendiri, sehingga diantara mereka sering membuat pernyataan-pernyataan yang bernada keras dan tidak benar serta dapat mngancam persatuan dikalangan umat Islam. Dilingkungan para pengamat dan pemikir muncul pendapat seperti golongan rasional mengutamakan akal daripada wahyu, mendahulukan dan mngandalkan akal. Padahal kita mengetahui bahwa bagi orang Islam telah dibekali wahyu oleh Allah swt sebagai pedoman, tidak mungkin akan mendahulukan akal daripada wahyu. Karena wahyu merupakan penuntun bagi akal seorang muslim dalam menghadapi kehidupan ini. Maka dari itu seorang muslim tidak akan mungkin dapat mengikuti faham rasionalis yang mengutamakan akal daripada wahyu sebagaimana yang berkembang di dunia Barat.


PEMBAHASAN
HARUN NASUTION (TEOLOGI RASIONAL)
A.    Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada tanggal 23 September 1919 dan wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta. Ia adalah putra ke-4 dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seoraang ulama kelahiran Mandaling yang berkecukupan, serta pernah menduduki jabatan sebagai Hakim, Penghulu, dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.
Beliau menempuh pendidikan dasar disekolah Belanda yakni Hollandsh-Inlandsche School (HIS), kemudian melanjutkan ke tingkat menengah yang berlandaskan Islam yakni Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Karena desakan orang tua ia kemudian meninggalkan MIK dan melanjutkan lagi studinya ke Makkah. Akan setelah kurang lebih satu tahun di Makkah pada tahun 1939 memutuskan untuk pergi ke Mesir. Di negeri Piramida ini Harun Nasution mendalami Islam di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar namun merasa tidak puas dan kemudian pindah Universitas Amerika di Kairo. Di Universitas ini Harun tidak lagi mandalami studi Islam, melainkan ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial.  Di Kairo ini, ia mendapatkan gelar B.A (Bachelor of Art) dalam bidang sosial studies pada tahun 1952 dengan nilai sangat memuaskan.
Setelah mendapat gelar B.A Harun Nasution menikah dengan seorang wanita Mesir. Beliau pernah menjadi pegawai konsulat Indonesia di Kairo, kemudian dari Mesir ia ditarik ke Jakarta dan kemudian menjadi sekretaris pada kedutaan besar Indonesia di Brussel, Belgia. kemudian tahun 1960 ia kembali ke Mesir , di sanalah ia mendapat tawaran untuk melanjutkan studi di Universitas McGill, Kanada. Untuk tingkat Magister beliau menulis tentang “pemikiran mengenai Islam di Indonesia” dan untuk disertasinya beliau menulis tentang “posisi akal dalam pemikiran teolog Muhammad Abduh”. Setelah meraih doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam melalui IAIN.[1]

B.     Harun Nasution dan Teologi Rasional
Menurut Harun Nasution teologi yang dapat memberdayakan dan membawa umat Islam pada kemajuan adalah teologi rasional, bukan teologi tradisional. Terlebih dahulu perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan teologi rasional dan tradisional. rasional berasal dari kata rasio yang berarti pemikiran secara logis (masuk  akal). Rasional berarti menurut pikiran dan pertimbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal. Dengan demikian teologi rasional dapat diartikan dengan teologi menurut pemikiran yang logis dan sehat.[2]
Kebalikan dari rasional adalah tradisional, kata ini berasal dari tradisi yang berarti kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang baik. Tradisional berarti sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun menurut adat. Dapat disimpulkan teologi tradisional adalah teologi yang selalu berpegang teguh pada tradisi. Disamping itu teologi tradisional juga dapat diartikan dengan teologi menurut pada pemikiran yang normatif dan tekstual, yaitu pemikiran yang banyak terikat pada arti lafzhi atau harfiah dari ayat-ayat Qur’an dan Sunnah.[3]
Pemikiran Harun Nasution tentang teologi rasional berpijak pada beberapa poin penting berikut:
1.      Sumber-sumber primer Islam, al-Qur’an dan hadist.[4]
2.      Gerakan rasionalisasi Islam bukanlah sekularisme, tetapi modernisasi atau pembaharuan pemikiran Islam yang melahirkan dinamisme.[5]
3.      Ayat suci dengan realitas zaman. Menurut Harun Nasution, banyaknya ayat al-Qur’an yang tidak berbicara tentang soal hidup kemasyarakatan, terdapat hikmah yang sangat besar. Masayrakat bersifat dinamis, senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti perubahan zaman. Peraturan dan hukum mempunyai efek yang mengikat, dengan kata lain semua itu akan menjadikan perkembangan masyarakat akan terhambat. Tuhan memberikan Manusia akal agar dipergunakan untuk berpikir, karena manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi. Disinilah letak hikmahnya mengapa ayat al-Qur’an tidak banyak membicarakan soal hidup kemasyarakatan manusia. Yang diberikan tuhan dalam al-Qur’an ialah dasar-dasar atau patokan-patokan, dan di atas dasar-dasar dan patokan-patokan inilah umat Islam mengatur hidup kemasyarakatannya.[6]

C.    Pembaharuan Harun Nasution
Gagasan Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Dikedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh Muhammad Abduh, terutama sekalitentang paham Mu’tazilah yang banyak mengan jurkan sikap-sikap qodariah.
Harun sering menyatakan bahwa salah satu kemunduran umat Islam di Indonesia adalah akibat dominasi asy’arisme yang bersifat jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Maka dari itu dari sekian banyak tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dengan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan alqur’an yang demikian penting dan bebas.
Harun memang sangan tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis cosmopolitan (barat). Tapi, sebenarnya hampir sepenuhnya ia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaanya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filusuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia tasawuf, membuat ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tetapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofi terhadap agama Islam itu sendiri. Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah,yang kerap disebut sebagai “Gebrakan Harun”.
1.      Gebrakan pertama,dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Yaitu ajaran yang pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah, dan boleh diubah.
2.      Gebrakan kedua, pembaharuan dalam bidang pendidikan dilakukan saat ia menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1973 (yang kini UIN). Gagasan pembaharuan tersebut  antara lain: menumbuhkan tradisi ilmiah, memperbarui kulrikulum IAIN Syarif Hidayatullah, pembinaan tenaga dosen, menerbitkan Jurnal Ilmiah, pengembangan perpustakaan, pengembangan organisasi.[7]
3.      Gebrakan ketiga, bersama menteri Agama Harun mengusahakan berdirinya fakultas pasca sarjana pada 1982. Menurutnya, di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pinpinan umat islam Masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang Ilmu agama, dan menguasai filsafat, karena menurutnya sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti itulah yang diharapkan lahir dari fakultas pasca sarjana.[8]


D.    Karya-karya Harun Nasution
Ditengan kesibukannya memberi kuliah dan memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Harun Nasution juga tercatat sebagai ilmuan yang produktif dalam bidang karya ilmiah. Diantara karya ilmiah yang dihasilkannya adalah:
1.      Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya
2.      Teologi Islam
3.      Filsafat Agama.
4.      Falsafat dan Mistisisme dalam Islam.
5.      Pembaharuan dalam Islam
6.      Akal dan Wahyu dalam Islam.
7.      Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah
8.      Islam Rasional.[9]

PENUTUP
Kesimpulan

Harun Nasution merupakan seorang tokoh pembaharuan pemikiran teologi Islam di Indonesia dan ia juga mengnggap bahwa dengan menggunakan rasionalitas masyarakat Islam Indonesia dapat bergerak maju dan dinamis serta mampu bersaing dengan bangsa lain. Selain itu juga Harun Nasution merupakan pelopor pemikiran rasionalitas di Indonesia.
Harun Nasution juga sebagai seorang pendidik yang sejati sehingga ia bisa menjalani misinya dengan baik. Kemampuannya dalam bidang Ilmu Kalam serta ide-ide pembaharuan yang dimilikinya hanyalah sebagai alat untuk mengubah masyarakat dengan menggunakan pendidikan, yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai media.
Dalam pandangan Harun Nasution, pendidikan Islam harus diarahkan untuk perwujudan tujuan pendidikan itu sendiri, yakni mencetak manusia yang bertakwa atau manusia yang berakhlakul karimah. Sebab itu sistem pendidikan yang dilaksanakan bukanlah “pengajaran agama,” melainkan “pendidikan agama.” Di samping itu, khusus untuk IAIN beliau mengharapkan agar alumninya tidak saja ahli di bidang agama, namun juga memiliki pengetahuan umum dan akhlak.




        [1]Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2004) hal. 262
       [2] Achmad Ghalib, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press 2005) hal. 33
       [3] Rasyid Ridha, konsep teologi rasional dalam tafsir al- manar, (Jakarta: Erlangga 2006) hal.370
       [4] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: Mizan 1996) hal. 294
       [5] Ibid, hal. 191
       [6] Ibid, hal. 28
        [7] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2004) hal. 278
       [8] Kiki Zakiah, Harun Nasution dan Pemikiran-pemikirannya. http://keyzaja.blogspot.com/2010/01/harun-nasution-dan-pemikiran.html diakses pada 11 Mei 2012
       [9] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2004) hal. 274