PENDAHULUAN
Harun Nasution
adalah sosok ilmuan Muslim yang amat berwibawa dan disegani oleh intelektual
Muslim, baik dalam maupun luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya
berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan. Dilihat dari segi pribadinya,
beliau adalah seorang yang taat beribadah, berpola hidup sederhana, jujur,
amanah, dan rendah hati. Pribadi yang demikian itu merupakan salah satu sifat
yang harus dimiliki seorang pendidik. Mendengar
Nama Harun Nasution tidak lepas dari kata “Rasional”. Ia memiliki keahlian dalam
bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan liberal. Pemikiran teologi harun nasution merupakan gambaran dari
pemikiran gurunya yaitu Muhammad Abduh yang merupakan
seorang tokoh yang sangat berpengaruh terhadap teologi.
Salah satu
karyanya yang terkenal adalah Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, yang
berisikan tentang corak pemikiran rasional agamis pada abad ke-19. Selain itu
buku ini juga membahas tentang sejarah Islam, yang mulanya berkembang pemikiran
rasional yang berkembang pada zaman klasik Islam (650-1250 M), kemudian
berkembang pemikiran tradisional pada zaman pertengahan Islam sekitar
(1250-1800 M).
Pemikiran
rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits.
Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q. S.
Al-Mulk; 10)
Persepsi
ini bertemu dengan persepsi yang sama dari yunani melalui filsafat dan sains
Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman
Klasik, seperti Aleksandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syria),
Bactra (Persia). Disana memang telah berkembang pemikiran rasional Yunani.
Pertemuan
Islam dan peradaban Yunani melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama
Islam Zaman Klasik. Oleh karena itu, kalau
di Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam Zaman
Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan
ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri,
terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama yaitu Qur’an
dan Hadits. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para
filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan
AI-Quran dan hadits.
Pembagian
pemikiran Islam ke dalam corak rasional dan tradisional berakibat menimbulkan
kesan yang kurang baik, khususnya bagi umat Islam itu sendiri, sehingga
diantara mereka sering membuat pernyataan-pernyataan yang bernada keras dan
tidak benar serta dapat mngancam persatuan dikalangan umat Islam. Dilingkungan
para pengamat dan pemikir muncul pendapat seperti golongan rasional
mengutamakan akal daripada wahyu, mendahulukan dan mngandalkan akal. Padahal
kita mengetahui bahwa bagi orang Islam telah dibekali wahyu oleh Allah swt
sebagai pedoman, tidak mungkin akan mendahulukan akal daripada wahyu. Karena
wahyu merupakan penuntun bagi akal seorang muslim dalam menghadapi kehidupan
ini. Maka dari itu seorang muslim tidak akan mungkin dapat mengikuti faham
rasionalis yang mengutamakan akal daripada wahyu sebagaimana yang berkembang di
dunia Barat.
PEMBAHASAN
HARUN NASUTION
(TEOLOGI RASIONAL)
A.
Biografi Harun
Nasution
Harun Nasution
lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada tanggal 23 September 1919 dan wafat
pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta. Ia adalah putra ke-4 dari lima
bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seoraang ulama kelahiran Mandaling
yang berkecukupan, serta pernah menduduki jabatan sebagai Hakim, Penghulu, dan
Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.
Beliau
menempuh pendidikan dasar disekolah Belanda yakni Hollandsh-Inlandsche School
(HIS), kemudian melanjutkan ke tingkat menengah yang berlandaskan Islam yakni
Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Karena desakan orang tua ia kemudian
meninggalkan MIK dan melanjutkan lagi studinya ke Makkah. Akan setelah kurang
lebih satu tahun di Makkah pada tahun 1939 memutuskan untuk pergi ke Mesir. Di negeri Piramida ini Harun Nasution mendalami Islam
di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar namun merasa tidak puas dan
kemudian pindah Universitas Amerika di Kairo. Di Universitas ini Harun tidak
lagi mandalami studi Islam, melainkan ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Di Kairo ini, ia mendapatkan gelar B.A
(Bachelor of Art) dalam bidang sosial studies
pada tahun 1952 dengan nilai sangat memuaskan.
Setelah
mendapat gelar B.A Harun Nasution menikah dengan seorang wanita Mesir. Beliau
pernah menjadi pegawai konsulat Indonesia di Kairo, kemudian dari Mesir ia
ditarik ke Jakarta dan kemudian menjadi sekretaris pada kedutaan besar
Indonesia di Brussel, Belgia. kemudian tahun 1960 ia kembali ke Mesir , di
sanalah ia mendapat tawaran untuk melanjutkan studi di Universitas McGill,
Kanada. Untuk tingkat Magister beliau menulis
tentang “pemikiran mengenai Islam di Indonesia” dan untuk disertasinya beliau
menulis tentang “posisi akal dalam pemikiran teolog Muhammad Abduh”. Setelah
meraih doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya
pada pengembangan pemikiran Islam melalui IAIN.
B.
Harun Nasution
dan Teologi Rasional
Menurut Harun
Nasution teologi yang dapat memberdayakan dan membawa umat Islam pada kemajuan
adalah teologi rasional, bukan teologi tradisional. Terlebih dahulu perlu
dijelaskan apa yang dimaksud dengan teologi rasional dan tradisional. rasional
berasal dari kata rasio yang berarti pemikiran secara logis (masuk akal). Rasional berarti menurut pikiran dan
pertimbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal. Dengan
demikian teologi rasional dapat diartikan dengan teologi menurut pemikiran yang
logis dan sehat.
Kebalikan dari
rasional adalah tradisional, kata ini berasal dari tradisi yang berarti
kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat,
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang
baik. Tradisional berarti sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu
berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun
menurut adat. Dapat disimpulkan teologi tradisional adalah teologi yang selalu
berpegang teguh pada tradisi. Disamping itu teologi tradisional juga dapat
diartikan dengan teologi menurut pada pemikiran yang normatif dan tekstual,
yaitu pemikiran yang banyak terikat pada arti lafzhi atau harfiah dari
ayat-ayat Qur’an dan Sunnah.
Pemikiran Harun Nasution tentang teologi rasional
berpijak pada beberapa poin penting berikut:
1. Sumber-sumber
primer Islam, al-Qur’an dan hadist.
2.
Gerakan rasionalisasi Islam bukanlah sekularisme,
tetapi modernisasi atau pembaharuan pemikiran Islam yang melahirkan dinamisme.
3.
Ayat suci
dengan realitas zaman. Menurut Harun Nasution, banyaknya ayat al-Qur’an yang tidak berbicara tentang
soal hidup kemasyarakatan, terdapat
hikmah yang sangat besar.
Masayrakat bersifat dinamis, senantiasa mengalami perubahan dan berkembang
mengikuti perubahan zaman. Peraturan dan hukum mempunyai efek yang mengikat,
dengan kata lain semua itu akan menjadikan perkembangan masyarakat akan
terhambat. Tuhan memberikan Manusia
akal agar dipergunakan untuk berpikir, karena manusia adalah sebagai khalifah
di muka bumi. Disinilah letak
hikmahnya mengapa
ayat al-Qur’an tidak banyak membicarakan soal hidup kemasyarakatan manusia.
Yang diberikan tuhan dalam al-Qur’an
ialah dasar-dasar atau patokan-patokan, dan di atas dasar-dasar dan
patokan-patokan inilah umat Islam mengatur hidup kemasyarakatannya.
C.
Pembaharuan
Harun Nasution
Gagasan Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling
menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Dikedua negeri
inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh Muhammad Abduh, terutama
sekalitentang paham Mu’tazilah yang banyak mengan jurkan sikap-sikap qodariah.
Harun sering
menyatakan bahwa salah satu kemunduran umat Islam di Indonesia adalah akibat
dominasi asy’arisme yang bersifat jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Maka
dari itu dari sekian banyak tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan
wahyu, dengan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan alqur’an
yang demikian penting dan bebas.
Harun memang
sangan tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis cosmopolitan
(barat). Tapi, sebenarnya hampir sepenuhnya ia mewarisi dasar-dasar pemikiran
Islam abad pertengahan. Penguasaanya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran
para filusuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas
terhadap dunia tasawuf, membuat ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang
terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan
bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang
meluap-luap, tetapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofi
terhadap agama Islam itu sendiri. Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga
langkah,yang kerap disebut sebagai “Gebrakan Harun”.
1.
Gebrakan pertama,dia
meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam.
Menurutnya dalam Islam terdapat
dua kelompok ajaran. Yaitu ajaran yang pertama bersifat absolut dan mutlak benar,
universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Kedua, bersifat
absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah, dan boleh
diubah.
2.
Gebrakan kedua, pembaharuan dalam bidang
pendidikan dilakukan saat ia
menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1973 (yang kini UIN). Gagasan
pembaharuan tersebut antara lain: menumbuhkan tradisi ilmiah, memperbarui
kulrikulum IAIN Syarif Hidayatullah, pembinaan tenaga dosen, menerbitkan Jurnal
Ilmiah, pengembangan perpustakaan, pengembangan organisasi.
3.
Gebrakan ketiga, bersama menteri Agama Harun mengusahakan berdirinya
fakultas pasca sarjana pada 1982. Menurutnya, di Indonesia belum ada organisasi sosial yang
berprestasi melakukan pinpinan umat islam Masa depan. Baginya pimpinan harus
rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang Ilmu agama, dan menguasai
filsafat, karena menurutnya sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu
secara umum. Pimpinan seperti itulah yang diharapkan lahir dari fakultas pasca
sarjana.
D.
Karya-karya Harun
Nasution
Ditengan
kesibukannya memberi kuliah dan memimpin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Harun
Nasution juga tercatat sebagai ilmuan yang produktif dalam bidang karya ilmiah.
Diantara karya ilmiah yang dihasilkannya adalah:
1.
Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya
2.
Teologi Islam
3.
Filsafat Agama.
4.
Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam.
5.
Pembaharuan
dalam Islam
6.
Akal dan Wahyu
dalam Islam.
7.
Muhammad Abduh
dan Teologi Rasional Mu’tazilah
PENUTUP
Kesimpulan
Harun Nasution
merupakan seorang tokoh pembaharuan pemikiran teologi Islam di Indonesia dan ia
juga mengnggap bahwa dengan menggunakan rasionalitas masyarakat Islam Indonesia
dapat bergerak maju dan dinamis serta mampu bersaing dengan bangsa lain. Selain itu juga Harun
Nasution merupakan pelopor pemikiran rasionalitas di Indonesia.
Harun Nasution juga sebagai seorang
pendidik yang sejati sehingga ia bisa menjalani misinya dengan baik.
Kemampuannya dalam bidang Ilmu Kalam serta ide-ide pembaharuan yang dimilikinya
hanyalah sebagai alat untuk mengubah masyarakat dengan menggunakan pendidikan,
yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai media.
Dalam pandangan Harun Nasution, pendidikan
Islam harus diarahkan untuk perwujudan tujuan pendidikan itu sendiri, yakni
mencetak manusia yang bertakwa atau manusia yang berakhlakul karimah. Sebab itu
sistem pendidikan yang dilaksanakan bukanlah “pengajaran agama,” melainkan
“pendidikan agama.” Di samping itu, khusus untuk IAIN beliau mengharapkan agar
alumninya tidak saja ahli di bidang agama, namun juga memiliki pengetahuan umum
dan akhlak.